Oleh : NUNUN BUDIARTI, SP
Pendidik merupakan pelita segala zaman, penerang sekaligus penyejuk bangsa. Tanpa pendidik, maka bangsa ini bisa hancur. Pendidikan adalah upaya mengeluarkan manusia dari sifat yang terbelakang menjadi manusia yang cerdas, berprikemanusiaan dan berakhlak mulia. dalam hal ini kedidikan guru sangatlah penting dalam pendidikan. dengan tidak adanya seorang guru, maka tak mungkin ada nya pendidikan yang terorganisir. oleh karena itu, erbahagialah orang- orang yang berprofesi sebagai pendidik. Siapapun itu, baik aku, kamu, anda atau yang lainnya. Semangat, jangan pernah menyerah! Karena masa depan anak bangsa ada ditangan kita.
Guru adalah pendidik profesional yang tidak hanya sekedar lebel belaka. Guru adalah profesional yang memiliki tugas membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, meengajar dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Jelas disitu tersirat tujuan agar guru bisa menentukan masa depan pendidikan yang berkualitas.
Guru sebagai pendidik menjadi tokoh panutan bagi para peserta didik dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar
kualitas pribadi tertentu yang mencakup tanggung jawab, wibawa dan disiplin. Berkenaan dengan wibawa, guru harus memiliki kelebihan dalam merealisasikan nilai spiritual, emosional, moral, sosial, intelektual dalam pribadinya, serta memiliki kelebihan dan pemahaman ilmu pengetahuan, teknologi dan seni sesuai dengan bidang yang dikembangkan. Kedisiplin dimaksudkan bahwa guru harus mematuhi berbagai peraturan dan tata tertib secara konsisten atas kesadaran profesional karena guru bertugas untuk mendisiplinkan peserta didik di dalam sekolah, terurama pada saat pembelajaran. Karena itu, dalam proses menanamkan sikap disiplin guru harus memulai dari diri sendiri, dalam berbagai tindakan dan perilakunya.
Perkembangan teknologi mengubah peran guru dari mengajar yang bertugas menyampaikan materi pelajaran, menjadi fasilitator yang bertugas memberikan kemudahan dalam belajar. Hal ini dimungkinkan karena perkembangan teknologi menimbulkan banyak informasi tersedia dalam berbagai media. Karena itu dalam pembelajaran agar berlangsung dengan baik terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan guru dalam pembelajaran, contohnya antara lain sebagai berikut: membuat ilustrasi, mendefinisikan, menganalisis, mensintesis, bertanya, merespon, mendengarkan, menciptakan kepercayaan, memberikan pandangan yang bervariasi, menyediakan media untuk mengkaji materi standar, menyesuaikan metode pembelajaran, dan lain- lain.
Menyimak pendapat- pendapat yang umum dan lazim; Para orang tua sering berkata, “Generasi muda adalah generasi penerus cita-cita bangsa”, “Di tangan generasi mudalah nasib bangsa ini tertumpu”, ”Generasi muda merupakan harapan bangsa”, “Generasi muda merupakan tulang pungung bangsa”, dan lain- lainnya. Lalu bagaimana menyikapinya? Mestinya pendapat diatas tidak lepas dari peranan pendidikan untuk mencapai tujuannya. Kata ”pendidikan” yang diambil dari kata ”didik” yang artinya tidak sulit dipahami karena bisa dipadankan dengan kata memberi contoh, tentunya contoh yang baik, yang bertujuan mulia, yang jelas berkonotasi ke arah kebaikan. Ada lagi jika dikembangkan dari akar kata tersebut, kata didik bisa ditambahkan awalan pe- mendapat sengau n (maaf jika salah karena bukan pakar bahasa) menjadi kata ”pendidik” yang bermakna kata benda yang artinya seseorang yang melakukan tugasnya untuk sebuah kata yang ada dibelakangnya. Jadi kata pendidikan itu sangat difokuskan terhadap peranan atau profesi yang berhubungan dengan kata tersebut yaitu pendidik yang notabene predikat itu tidak lain merupakan tugas pokok dari guru. Jadi secara profesional guru memiliki peran yang sangat besar dalam dunia pendidikan.
Muhibbin Syah M.Ed dalam bukunya Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, mengatakan bahwa sesuai sunah Rasulullah SAW, peran guru bukan sekadar mengajarkan materi ajar, tetapi juga pendidikan. Atau dengan kata lain tidak sekadar mengajar (ta’lim) tapi juga mendidik (tarbiah). Jika kompetensi kepribadian guru itu baik, maka mudah sekali untuk membuat tiga kompetnsi lainnya baik juga. Karena kepribadian yang baik akan menjadikan dirinya memiliki kompetensi yang baik dalam segi pedagogik, sosial dan profesional. Karena munculnya pribadi yang baik itu berasal dari hati nurani yang baik juga. Mari kita menelaah Sunnah Rosulullah Muhammad SAW, Rosulullah bersabda ”di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging, jika segumpal daging itu bagus maka baguslah semua tubuhnya, tapi jika segumpal daging itu buruk maka buruklah semua tubuhnya, apa yang dimaksud segumpal daging itu, dia adalah hati”.
Mendidik dengan mencurahkan perhatian indivi hanya bisa dilakukan bila guru memiliki pemahaman yang kuat terhadap psikologi pendidikan. Karena akan membentuk guru mempunyai kemampuan menyelami, mempelajari, dan kemudian memahami kepribadian masing- masing peserta didiknya. Dari pemahaman orang perorang ini, guru bisa memetakan pola ajar dan pola didik yang tepat diterapkan pada masing-masing individu anak didiknya. Melalui pendekatan perhatian individual inilah bisa ditemukan jalan tengah pola ajar dan pola didik yang tidak saja membebaskan guru dari beban berat pembelajaran yang akan mendatangkan stres dan rasa jenuh. Tapi, yang lebih penting akan membuat anak didik menjadi enjoy, nyaman, dan betah di dalam kelas. Serta yang lebih penting telah tertanam dalam benak siswa bahwa guru mana yang paling mereka sukai bila mengajar dan mendidik. Tapi, yang lebih penting adalah guru harus punya kemampuan untuk (terlebih dahulu) membangun karakter pribadinya, di mana karakter atau kepribadian guru inilah sebagai landasan agar guru bisa menciptakan rasa nyaman dan betah di dalam kelas bagi siswanya. Artinya, guru terlebih dahulu harus banyak-banyak belajar bagaimana cara mengajar yang baik. Tidak saja bisa mentransfer ilmu dengan cakap, tapi juga bisa memahami bahwa siswa di dalam suatu kelas merupakan kumpulan dari berbagai individu yang memiliki watak dan karakter yang berbeda-beda, kecerdasan dan kemampuan menyerap pelajaran serta penalaran berbeda, problem pribadi dan lingkungan keluarga yang berbeda. Atau dengan kata lain memiliki intelektual, emosional, spiritual, kemampuan material, serta kehidupan sosial yang berbeda-beda. Dalam hal intelektual, pada dasarnya setiap individu memiliki kecerdasan yang majemuk (multiple intelligences).
Menurut Howard Gardner dalam bukunya Frames of Mind (1983), setidak-tidaknya ada delapan jenis kecerdasan dasar yang bisa berkembang, yaitu (1) kecerdasan linguistik, yaitu kemampuan menggunakan kata secara efektif, baik lisan maupun tulisan, (2) kecerdasan matematis logis, yaitu kemampuan menggunakan angka dengan baik, (3) kecerdasan spasial, yaitu kemampuan mempersepsikan dunia spasial-visual secara akurat, (4) kecerdasan kinestetis jasmani, yaitu kemampuan menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan, (5) kecerdasan musikal, yaitu kemampuan menangani bentuk-bentuk musikal, (6) kecerdasan interpersonal, yaitu kemampuan mempersepsikan dan membedakan suasana hati, maksud motivasi, serta perasaan orang lain, (7) kecerdasan intrapersonal, yaitu kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut, (8) kecerdasan naturalis, yaitu keahlian mengenali dan mengkategorikan spesies flora dan fauna di lingkungan sekitarnya. Sekarang tergantung kemampuan guru untuk menemukan kecerdasan bidang apa yang paling menonjol dalam masing- masing individu siswa yang diajarnya.
Kesalahan besar yang telah jadi ’budaya’ dalam dunia pendidikan di Indonesia, adalah filosofi yang melandasi praktek pendidikan yang bersifat penyeragaman. Baik yang bersifat material seperti seragam sekolah, kurikulum pendidikan, maupun bersifat mental seperti memandang seolah- olah siswa bisa diperlakukan sama rata- sama rasa. Tidak pernah mau untuk memulai meletakkan landasan sikap menghormati kebebasan hak dan kekuasaan pribadi- pribadi. Sebaliknya justru menenggelamkan pribadi- pribadi ke dalam konformitas. Konformisme ini tidak disadari sebagai sesuatu yang membahayakan, karena akan mematikan identitas diri.
Dengan memahami para siswa sebagai kumpulan individu yang berbeda, yang memiliki kecerdasan majemuk, mestinya bisa dimanfaatkan untuk membantu seorang guru bisa menciptakan suasana pembelajaran yang memenuhi unsur mengajar dan mendidik. Menciptakan suatu interaksi berkait antara guru yang mengajar, bahan pelajaran yang disampaikan, siswa yang menyimak dengan penuh minat dan perhatian yang serius, sehingga terbangun suasana belajar yang tenang dan tentu saja menyenangkan.
Mungkin seorang siswa lemah dalam satu atau dua mata pelajaran, tapi dia menonjol dalam satu atau dua mata pelajaran lainnya. Tinggal bagaimana kejelian seorang guru untuk menemukannya kemudian menggalinya agar terjadi sinergi di antara masing- masing siswa di dalam kelas, dan tentunya akan terbangun suasana belajar yang menguntungkan semua pihak.
Dengan sendirinya akan bisa dielaborasi atau setidak- tidaknya dieliminir suasana belajar yang gaduh. Yang biasanya ditimbulkan beberapa faktor di antaranya, siswa tidak respek pada guru yang mengajar, bahan pelajaran yang disampaikan dan cara guru menyampaikannya tidak menarik, guru yang kelewat otoriter memaksa siswa duduk manis dan diam menyimak guru yang ngoceh di depan kelas, tanpa memberi ruang bagi kebebasan untuk menyampaikan sanggahan atau keberatan terhadap pola ajar dan pola didik yang diterapkannya. Ini akan menciptakan ”masyarakat bisu” dan siswa bersekolah bukannya tambah pintar melainkan tetap bodoh. Suasana dalam kelas sunyi-senyap tak ubahnya seperti kuburan.
Dengan analogi lain, guru jangan hanya bisa menciptakan ’kawanan bebek’ yang hanya bisa duduk bergerombol dan membeo belaka, bukan dia juga harus bisa menciptakan ’elang’ yang bisa terbang bebas ke mana ia suka. Sehingga pendidikan di Indonesia tidak hanya banyak melahirkan bebek namun bisa juga melahirkan elang yang bisa lebih bisa menjelajah ke dunia yang lebih luas. Seiring lengsernya peradaban lama dan munculnya peradaban baru, era reformasi, era keterbukaan. Maka, muncul pula tata kehidupan yang lebih demokratis. Dan dunia pendidikan pun tidak bisa lepas dari perubahan, hari gini sudah tidak jaman guru masih terlena dalam pola pembelajaran yang hanya ngoceh di depan kelas, tanpa tambahan kemampuan mendemonstrasikan keilmuannya. Lebih-lebih guru yang justru marah-marah sembari mengumpat mengeluarkan kata- kata kotor (pinsuhan yang berbau binatang), bila ada siswa yang enggan mencurahkan perhatian dan asik sendiri curhat dengan teman sebelahnya. Menghadapi siswa model begini, tentunya pendekatan perhatian individual itulah yang paling jitu untuk menggiring mereka agar bisa membantu gurunya menciptakan suasana ruang belajar yang tenang dan menyenangkan.
Hal semacam ini, masih diakrabi sebagian guru yang hanya membebankan penyelesaian tugas LKS kepada siswanya, atau hanya melulu mencatat tanpa pernah menerangkan dan membahas apa yang telah dicatat tersebut. Kebiasaan seperti ini kalau dibiarkan akan membahayakan dan memperlambat majunya dunia pendidikan di Indonesia. Maka, sebelum guru memosisikan dirinya sebagai pembentuk, pembina, dan pembangun kepribadian siswa, tentu saja patut membentuk, membangun, serta membina kepribadiannya terlebih dahulu. Ini penting, mengingat sosok guru acap dijadikan panutan, karena dalam masyarakat telah tertanam pandangan bahwa guru patut ’digugu dan ditiru’ sebagai pengakuan betapa mulianya profesi guru.
Ada banyak cara dalam membina kepribadian guru. Dan dari banyak cara itu, ada yang sesuai dan ada pula yang tidak sesuai, ada yang bisa dilakukan dan ada pula yang tidak bisa dilakukan, tergantung kemampuan dan situasi kondisi masing-masing individu. Salah satu dari banyak cara yang penulis maksud, adalah dengan banyak-banyak membaca (terutama buku ilmiah populer), karena buku adalah jendela dunia dan membaca adalah kunci pembukanya. Kalaupun tidak buku, koran juga merupakan bahan bacaan yang cukup representatif untuk mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan, dan tadinya kita tidak tahu akhirnya menjadi tahu. Dengan banyak membaca akan memperluas wawasan kita.
Yang kedua kepribadian guru ternyata bisa dikembangkan dengan berbagai metode antara lain pelatihan- pelatihan, diklat- diklat, workshop- workshop, pembuatan karya ilmiah seperti Penelitian Tindakan Kelas, Lesson Study dan lain- lainnya. Karena dengan memproduksi produk- produk semacam itu guru semakin tertantang dengan berbagai literatur dan daftar pustaka yang harus dicerna. Karena semakin banyak pustaka dan literatur yang dibaca oleh guru, semakin banyak pula kecerdasan yang majemuk (multiple intelligences) yang dimiliki guru. Diteorikan oleh Howard Gardner dalam bukunya Frames of Mind. Semakin banyak ilmu yang dimiliki oleh seorang guru, maka akan semakin berpengaruh terhadap keberhasilan masa depan anak bangsa. Guru- guru para pendidik yang ada di seluruh penjuru Indonesia, Semangat!! Jangan pernah bosan untuk belajar, karena masa depan anak bangsa ada ditangan kita. Allahuakbar!!!
NAMA : NUNUN BUDIARTI, SP
TEMPAT TUGAS : SMA NEGERI 2 BANTAN