Sistem pertanian di Indonesia mengalami perubahan drastis sejak dimulainya program revolusi hijau, suatu bentuk modernisasi pertanian pangan yang diaplikasikan di Indonesia sekitar tahun 1960-an. Tujuan dari revolusi pertanian ini adalah untuk menekankan peningkatan produktivitas prtanian seara mekanisasi, salah satunya lewat teknologi pemupukan menggunakan bahan-bahan kimia (Brandt & Otzen, 2004).
Dalam sebuah penelitiannya, Iskandar (2009) menyebut revolusi hijau menimbukan dampak dengan gangguan ekologi yang serius seperti punahnya varietas lokal, ledakan hama dan pencemaran tanah dan perairan. Ledakan bahan kimia seperti pestisida telah membunuh berbagai organisme dan musuh alami hama, seperti laba-laba, capung, katak, dan burung. Juga, penyemprotan pestisida akan membuat hama menjadi kebal dan berkembangbiak dengan tepat (Soemarwoto, 2004).
Revolusi Hijau sendiri tidak bisa lepas dari bagaimana dunia berubah menjadi kearah kapitalistik. Negara berkembang masuk dalam skema perdagangan global yang dipromosikan oleh World Trade Organization (WTO), yang panduannya diperoleh dari kebijakan World Bank dan International Monetary Fund (IMF). Aturan perdagangan bebas itu lalu masyarakat perlunya reformasi pertanian di negara-negara berkembang, yang pada akhirnya memungkinkan produk perusahaan transnasional pertanian (pestisida, GMO) dari negara-negara maju menyebar cepat diberbagai negara-negara berkembang (Schanbacher, 2010).
Hal ini tak urung mendorong penggunaan pestisida besar-besaran yang oleh revolusi haju mampu mengubah mindset dan perilaku para etani. Tanpa berbagai produk herbisida, pestisida dan berbagai pupuk kimia, lahan dimitoskan tidak akan dapat produktif. Industrialisasi pertanian pada akhirnya mendorong petani sebagai bagian dari mesin industry raksasa, berada pada rantai nilai produk, dan bukan lagi menjadi aktor sumber kearifan pemanfaatan lahan. Dalam dunia perdagangan bebas ini pun, petani selanjutnya menjadi pihak yang harus menangani sendiri berbagai proses turunan teknologi yang merupakan dampak langsung revolus hijau. Yaitu, dengan jargon yang bertujuan untuk memproduksi semaksimal mungkin hasil pertanian dari sebuah bentangan lahan agar emperoleh margin keuntungan finansial sebesar-besarnya.
Dengan kondisi yang ada, pekerjaan untuk membangun kesadaran petani menjadi pekerjaan yang tidak mudah mengingat pemahaman yang terbentuk telah terjadi cukup lama dan sistematis terstruktur. Dalam istilah pakar antropologi, Prof Yunita Winarto, “ sesat pikir” ini telah membuat produk berbahan kimia, seperti pestisida menjadi “obat cepat” buat para petani. Secara struktural, Winarto menyebutkan, penggunaan pestisida dipromosikan secara gencar oleh PPL (Petugas Penyuluh lapangan) sehingga label yang disematkan para petani kepada PPL adalah seagai petugas pertanian yang berjualan obat (Winarto, 2016, p:109).
Pertanian organik telah banyak dilakukan di bnyak Negara bahkan Negara maju teknologi seperti Jepang dan negara-negara Skandinavia. Pertanian organik ditandai dengan penggunaan benih-benih lokal/tradisional, benih-benih lain yang bukan ibrid (hasil pemuliaan konvensional), tidak/sangat terbatas menggunakan pupuk kimia, lebih banyak memanfaatkan pupuk alami (hasil pengomposan sisa tanaman, kotoran hewani (tinja dan urin hewan), menggunakan pengetahuan dan kearifan lokal/tradisional. Penggunaan pupuk organik jelas memperbaiki kondisi tanah secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk kimia dapat mengakibatkan kandungan nitrat dalam sayuran terlalu tinggi dan hal itu dapat menimbulkan kekhawatiran timbulnya karsinogen yang dapat memicu timbulnya penyakit kanker. Hal seperti tersebut mengakibatkan ekspor sayuran ke Singapura dan Malaysia ditolak karena kandungan nitrat yang melampaui batas minimal. Menurut Kabelan, pertanian organik yang semakin berkembang belakangan ini menunjukkan adanya kesadaran petani dan berbagai pihak yang bergelut dalam sektor pertanian akan pentingnya kesehatan dan keberlanjutan lingkungan. Revolusi hijau dengan input bahan kimia memberi bukti bahwa lingkungan pertanian menjadi hancur dan tidak lestari. Pertanian organik kemuadian dipercaya manjadi salah satu solusi alternatif.
Pengembangan pertanian organik secara teknis harus disesuaikan dengan prinsip dasar lokalitas. Artinya pengembangan pertanian organik harus disesuaikan dengan daya adaptasi tumbuh tanaman/binatang terhadap kondisi lahan, pengetahuan lokal teknis perawatannya, sumber daya pendukung, manfaat sosial tanaman/binatang bagi komunitas. Pertanian organik memandang alam secara menyeluruh, komponennya saling bergantung dan menghidupi, dan manusia adalah bagian di dalamnya. Prinsip ekologi dalam pertanian organik didasarkan pada hubungan antara organisme dengan alam sekitarnya dan antar organisme itu sendiri secara seimbang. Pola hubungan antara organisme dan alamnya dipandang sebagai satu-kesatuan yang tidak terpisahkan, sekaligus sebagai pedoman atau hukum dasr pengelolaan alam, termasuk pertanian.
Dalam pelaksanaannya, sistem pertanian organik sangat memperhatikan kondisi lingkungan dengan mengembangkan metode budidaya dan pengolahan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Sistem pertanian organik diterapkan berdasarkan atas interaksi tanah, tanaman, hewan, manusia, mikroorganisme, ekosistem, dan lingkungan dengan memperhatikan keseimbangan dan keanekaragaman hayati. Sistem ini secara langsung diarahkan pada usaha meningkatkan proses daur ulang alami daripada usaha merusak ekosistem pertanian (agro ekosistem). Pertanian organik banyak memberikan kontribusi pada perlindungan lingkungan dan kesehatan hidup manusia,. Pertanian organik juga menjamin berkelanjutan bagi agro ekosistem dan kehidupan petani sebagai pelaku pertanian. Sumber daya lokal digunakan sedemikian rupa sehingga unsur hara, bimassa, dan energi bias ditekan serendah mungkin serta mampu mencegah pencemaran. Pemanfaatan bahan-bahan alami lokal di sekitar lokasi pertanian seperti limbah produk pertanian sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik seperti kompos sangat efektif mereduksi penggunaan pupuk kimia sintesis yang jelas-jelas tidak ramah lingkungan. Demikian juga dengan pemanfaatan bahan alami seperti tanaman obat yang ada untuk dibuat racun hama akan mengurangi penggunaan bahan pencemar bahaya yang diakibatkan pestisida, fungisida dan insektisida kimia.
Penggunaan mikroorganisme pada pembuatan pupuk organik, selain meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk, juga akan mengurangi dampak pencemaran air tanah dan lingkungan yang timbul akibat pamakaian pupuk kimia berlebihan. Disamping itu, banyak mikroorganisme di alam yang memiliki kemampuan mereduksi dan mendegradasi bahan-bahan kimia berbahaya yang diakibatkan pencemaran dari bahan racun yang digunakan dalam aktivitas pertanian konvensional seperti racun serangga dan hama. Dengan kemajuan teknologi, pertanian organik adalah peranian ramah lingkungan yang murah dan berteknologi sederhana (tepat guna) dan dapat dijangkau semua petani di Indonesia. Serangga hama dan musuh alami merupakan bagian keanekaragaman hayati. Serangga hama memiliki kemampuan berbiak yang tinggi untuk mengimbangi tingkat kematian yang tinggi di alam. Keseimbangan alami antara serangga hama dan musuh alami sering dikacaukan penggunaan insektisida kimia yang hanya satu macam.
Pertanian organik bukan hanya baik bagi kesehatan, tetapi juga bagi lingkungan bumi. Beberapa Ahli pertanian Amerika Serikat yakin pertanian organik merupakan cara baru mengurangi gas-gas rumah kaca yang menyumbang pemanasan global. Laurie Drinkwater, ahli manajemen tanah dan ekologi Rodale Institute di Kutztown, Pennsylvania, AS bersama Kolegan membandingkan pertanian organik dengan metode sebelumnya yang menggunakan pupuk kimia selama 15 tahun. Hasilnya dipublikasikan dalam jurnal ilmia Nature (Desember 1998) jika pupuk organik AS, setiap tahun karbondioksida di atmosfer dapat berkurang 1-2%. Drinkwater mengatakan, pengurangan ini merupakan kontribusi yang sangat berarti. Selain itu negara-negara industri sepakat dalam pertemuan Bumi di Kyoto Jepang untuk mengurangi emisi karbondioksida sampai 5.2% dari tahun 1990 hingga tahun 2008-2012. Dalam penelitian ini juga ditemukan, pertanian organik menggunakan energi 50% lebih kecil dibandingkan dengan metode pertanian konvensional.
Demikianlah, fakta mengungkapkan bahwa sistem pertanian organik adalah pertanian yang ramah lingkungan. Artinya, pelaku sistem pertanian organik telah berusaha tidak merusak dan mengganggu keberlanjutan komponen-komponen lingkungan yang terdiri atas tanah, air, udara, tanaman, binatang, mikroorganisme, dan tentunya manusia. Bila kita sudah melakukan ini, termasuk mengonsumsi produk pertanian organik, sebaiknya cerminan pribadi kita yang ramah lingkungan.
SARINI, S.Tp Merupakan Guru aktif di SMAN 2 BANTAN