Ticker

6/recent/ticker-posts

Anang Iskandar: Penegakan Hukum Narkotika Lakukan Bersifat Represif dan RAnehabilitatif

Anang Iskandar
Kepala BNN 2012-2015, Kabareskrim 2015-2016

JAKARTA - Misi penegak hukum berdasarkan Undang Undang (UU) Narkotika Nomor 35/2009 adalah melakukan penegakan hukum bersifat represif dan rehabilitatif. Misi represif dengan sasaran para pengedar, tidak saja dengan memenjarakan pelakunya. Tetapi juga menuntut secara tersendiri dengan tuntutan tindak pidana pencucian uang serta memutus jaringan bisnis narkotikanya.
Misi bersifat rehabilitatif dengan upaya paksanya berupa penempatan ke lembaga rehab (bukan penahanan) dan penjatuhan hukumannya berupa hukuman rehabilitasi.
Kedua jenis kejahatan itu–penyalahgunaan dan peredaran– harus dipilah karena beda arah tujuannya. Selama ini, praktiknya tidak dipilah atau dibedakan. Akibatnya, penyalahguna dikenakan penahanan dalam proses penegakan hukun dan dihukum penjara layaknya perkara pengedar. Praktik demikian, seperti selama ini terjadi merupakan penyimpangan dari maksud dan tujuan UU Narkotika.
Maksud dan tujuan dibuatnya UU Narkotika dinyatakan dalam dari 3 poin. Pertama, jaminan  terhadap ketersediaan narkotika untuk kepentingan kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pont ini mengatur tentang narkotika legal.
Kedua, penanganan penyalahgunaan bersifat rehabilitatif. Penanganan penyalahguna bersifat rehabilitatif dilakukan melalui pendekatan kesehatan maupun pendekatan penegakan hukum. Yakni, dengan cara mencegah, melindungi, menyelamatkan, dan menjamin penyalahguna mendapatkan upaya rehabilitasi.
Ketiga, penanganan peredaran narkotika bersifat represif. Ini dilakukan dengan cara memberantas pengedar narkotika dan prekusor narkotika (baca: pasal 4).
Dalam program pemerintah, khususnya program Pencegahan dan Pemberantasan, Penyalahgunaan, dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN), menyatakan secara jelas bagaimana melawan penyalahgunaan dan melawan peredaran. Dari nama program jelas bahwa penyalahguna dihadapi dengan cara "pencegahan". Sedangkan pengedar dihadapi dengan "pemberantasan".
Penyalah guna (demand reduction) secara hukum posisinya berbeda dengan pengedar (supply reduction). Pengedar harus diberantas dan dipenjara tetapi kalau penyalahguna harus dicegah, dilindungi, diselamatkan melalui proses rehabilitasi agar sembuh tidak relap dan mendapatkan dampak buruk dari penyalah gunaan narkotika (harm reduction).
Dalam kehidupan nyata, ada penyalahguna dengan jumlah kepemilikan narkotikanya sedikit (di bawah SE Mahkamah Agung) murni digunakan untuk diri sendiri dan ada yang kepemilikan narkotikanya juga sedikit namun berperan sebagai pengecer paket hemat/welasan. Terhadap penyalahguna yang merangkap pengecer "welasan" di mana setelah laku 10 jie (1 jie beratnya 0,1 gram), tersangka penyalahguna merangkap pengecer ini dapat dihukum penjara dan/atau dihukum rehabilitasi. Itu tergantung keyakinan hakim.
Untuk dapat melaksanakan maksud dan tujuan UU Narkotika dan misi penegakan hukum bersifat rehabilitatif terhadap penyalahguna, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25/2011 tentang wajib lapor pecandu, penegak hukum mulai dari penyidik, penuntut umum, hakim diberi kewenangan upaya paksa "menempatkan" tersangka/terdakwa penyalahguna narkotika ke lembaga rehabilitasi pada semua tingkat pemeriksaan agar sembuh.
Dalam batang tubuh UU Narkotika, penyalahguna digambarkan seperti dua sisi mata uang. Satu sisi digambarkan sebagai "korban kejahatan narkotika sekaligus penderita penyakit adiksi ketergantungan narkotika" dan satu sisi digambarkan sebagai "pelaku kejahatan" penyalahgunaan narkotika diancam dengan hukuman penjara kurang dari 5 tahun. Artinya tidak memenuhi syarat ditahan dalam proses penegakan hukum. Namun sedapat mungkin ditempatkan di tempat sekaligus sebagai tempat rehabilitasi (pasal 21 KUHAP).
Sehingga secara yuridis penyalahguna tidak dapat ditahan. Tetapi UU Narkotika menjamin upaya penyembuhan melalui proses rehabilitasi. Itu sebabnya penegak hukum diberi kewenangan menempatkan ke lembaga rehabilitasi sebagai upaya paksa agar sembuh. Dan upaya paksa rehabilitasi secara administrasi hukum sama dengan ditahan atau dipenjara, di mana masa menjalani rehabilitasi dihitung sebagai masa menjalani hukuman (pasal 103/2).
Dalam proses upaya paksa, khususnya penangkapan terhadap tersangka perkara narkotika, tenggang waktu menurut UU Narkotika ditentukan 3 x 24 jam dan dapat diperpanjang sekali 3 × 24 jam. Selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan ditahan atau ditempatkan di lembaga rehabilitasi. Artinya, waktu panjang tersebut memang diperlukan untuk proses meminta keterangan ahli, melalui assesmen atau visum et repertum bagaimana kondisi ketergantungan tersangka ketika ditangkap (tersangka dengan barang bukti di bawah SE MA Nomor 4/2010). Apakah termasuk ketergantungannya ringan, sedang atau berat. Sejak kapan menggunakan narkotika. Apa jenis narkotika yang digunakan. Dan berapa lama dibutuhkan untuk terapi dan rehabilitasinya agar gambaran masalah narkotikanya jelas ketika disidangkan.
Sedangkan penangkapan menurut KUHAP tenggang waktunya 1 × 24 jam harus sudah dilakukan pengambilan keputusan, apakah tersangka ditahan atau tidak . Penyidik Polri menggunakan waktu penangkapan menurut KUHAP karena tidak diberi kewenangan sesuai UU Nomor 35/2009. Oleh karena itu, penyidik BNN harus mengajak penyidik Polri melakukan joint investigasi terhadap perkara penyalahgunaan narkotika.
Akibatnya ketika memeriksa perkara penyalahguna setelah 1×24 jam langsung dilakukan penahanan dengan diterapkan pasal pengedar (pasal 111 sampai 114) karena unsur tindak pidana penyalah guna dan pengedar hampir sama (membawa, memiliki, mengusai narkotika) tanpa mempertimbangkan jumlah barang bukti, dan juga tanpa menanyakan apa tujuan kepemilikan narkotikanya, apakah digunakan sendiri (sebagai penyalah guna) atau dijual guna mendapatkan keuntungan (sebagai pengecer).
Praktik penyidikan oleh penyidik narkotika seperti tersebut di atas sesungguhnya tidak sesuai atau menyimpang dari ketentuan UU Narkotika yang berlaku secara khusus. Tetapi kenyataannya, praktik demikian dinyatakan benar dan diberikan P21 (penyidikan lengkap) dan penahan tersangka dilanjutkan oleh penuntut umum dengan penerapan pasal yang sama.
Pada proses penuntutan tersangka penyalahguna mengalami perlakuan yang sama, secara administratif dituntut dengan dakwaan pasal pengedar atau dituntut pasal komulatif/subsidiaritas dengan pasal pengedar. Mestinya didakwa dengan pasal tunggal, yaitu pasal 127, dan tidak dilakukan penahanan. Melainkan ditempatkan di lembaga rehabilitasi.
Pada sidang peradilan, terdakwa dituntut dakwaan pasal berlapis atau pasal komulatif penyalahguna dan pengedar, bahkan langsung didakwa dengan pasal pengedar. Karena dilakukan penahanan oleh penyidik dan penuntut umum maka penahanannya menjadi dilema bagi hakim yang menyidangkan. Meskipun amar putusannya nyata-nyata terbukti sebagai penyalahguna untuk diri sendiri mestinya demi hukum dijatuhi hukuman rehabilitasi. Tetapi nyatanya dihukum penjara.
Penjatuhan hukuman penjara kepada penyalah guna untuk diri sendiri dalam waktu yang cukup lama, secara tidak sadar menyuburkan bisnis narkotika dan mengakibatkan Indonesia menjadi pasar narkotika karena demand-nya tidak disembuhkan dan timbul demand baru, begitu seterusnya.
Padahal secara khusus, hakim dalam memeriksa perkara penyalahguna untuk diri sendiri "wajib" (pasal 127/2) memperhatikan ketentuan rehabilitasi. Dan diberi kewenangan tambahan "dapat" menjatuhkan hukuman rehabilitasi bila terbukti bersalah dan mengambil tindakan untuk memerintahkan terdakwa menjalani rehabilitasi bila tidak terbukti bersalah (pasal 103). Pertanyaannya, apakah hakim tidak mengerti atau tidak tahu kekhususan UU Narkotika. Di sini ironinya.
Kenapa praktik penegakan hukum menjadi bersifat represif terhadap para penyalahguna? Pertama, karena penyidik narkotika tidak mau repot untuk minta bantuan ahli, minta visum atau assesmen, diterapkan pasal pengedar, komulatif atau subsidiaritas dengan pasal pengedar. Penerapan pasal pengedar dalam berkas perkara penyalahguna tidak pernah dikoreksi atau ditolak jaksa penuntut umum.
Kedua, karena jaksa penuntut umum (JPU) menyetujui berkas perkara hasil penyidikan maka JPU menuntut dengan pasal pengedar setidak-tidaknya dengan tuntutan secara komulatif atau subsidiaritas. Padahal tuntutan ini bertentangan dengan misi penegakan hukum. Mestinya dituntut dengan pasal penyalahguna untuk diri sendiri saja.
Ketiga, ketika perkara sampai proses peradilan dan penjatuhan sanksi, hakim lebih happy menggunakan kewenangan berdasarkan hukum acara pidana umum. Yaitu memberikan putusan apa yang dituntut oleh JPU daripada kewenangan yang diberikan secara khusus berdasarkan pasal 103 UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika, yaitu kewenangan menjatuhkan sanksi berupa rehabilitasi, bila terbukti bersalah dan menetapkan memerintahkan terdakwa menjalani rehabilitasi bila terbukti tidak bersalah (kewenangan rehabilitatif yang diberikan secara khusus kepada hakim yang sifatnya wajib).
Akibat penjatuhan sanksi penjara terhadap penyalahguna, lama-kelamaan memberatkan lapas karena terjadi over capacity yang trennya naik dari tahun ke tahun dan segala macam permasalahan dalam lapas, mulai dari permasalah dilema sakau bareng lapas kalau diketati pengawasannya, sampai permasalahan kebutuhan anggaran lapas yang tidak terkendali.
Dampak yang lebih serius yang sifatnya laten adalah jumlah penyalahguna dari tahun ke tahun meningkat. Ini menyebabkan Indonesia darurat narkotika berkepanjangan karena usaha penyembuhannya terkendala oleh penegakan hukum, khususnya keputusan hakim yang memberikan sanksi penjara. Padahal salah satu sumber penting usaha rehabilitasi yàng diprogramkan pemerintah adalah bersumber pada keputusan hakim.



Penulis: Kepala BNN 2012-2015, Kabareskrim 2015-2016, dan Dosen Universitas Trisakti.