Ticker

6/recent/ticker-posts

Cerpen; Lubuk Rindu Karya Siti Andriana


Ku tuliskan kebekuan dalam setiap momentum perjalanan. Perjalanan yang kurasakan usang dan terkadang menyematkan harapan masa depan. Aku sendiripun belum bisa memahami sepenuhnya ujian demi ujian Allah hadirkan untukku. Aku bukan orang kaya, aku juga bukan anak saudagar kaya, penampilanku biasa saja, aku juga tidak terbiasa belanja mahal ala putri raja. Aku orang biasa.

Terlahir karena keberuntungan, tepatnya itu adalah nasibku. Saudari kembarku yang terlahir selang beberapa menit sebelum aku, harus pergi mendahuluiku ke pangkuan illahi. Ibu melahirkan kami dalam kondisi persalinan yang prematur. Aku juga harus dirawat intensif dalam inkubator di rumah sakit. Beruntung Allah masih memberiku jatah kehidupan untuk melihat dunia dan orang-orang di sekitarku. Ayah dan ibu sangat mencintaiku.

Ayahku seorang guru ngaji dan berkebun di sawah. Sedangkan, ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa layaknya ibu-ibu yang lain pada umumnya. Kehidupan kami sangat harmonis. Alhamdulillah segala kebutuhan terbilang cukup dan tidak pernah kurang.  Sebut saja namaku Bintang Rahmadayanti dan almarhum kakakku Bulan Rahmadayanti.

Masa kecil kuhabiskan dengan masa tomboy, ya dengan potongan rambut ala polisi wanita. Poni sebelah kiri sebatas alis dan panjang rambut sebatas leher. Hobiku berbeda dengan teman-teman perempuan yang sebaya denganku. Jika mereka suka rambutnya dikepang, pakai rok mini, naik sepeda yang pakai keranjang. Itu jauh dari apa yang ku inginkan. Hobiku adalah balapan lari, balapan sepeda dan main bola kasti. Aku juga memiliki wajah sangar waktu kecil, karenanya aku sering punya banyak kawan laki-laki untuk adu energi alias bertengkar di sekolah.

SDN 020 Selasih, Kalimantan Barat adalah tempatku menimba ilmu waktu sekolah. Usiaku masih 5 tahun sudah didaftarkan oleh ibuku. Aku tentu mau, karena aku yang merengek pada ayah dan ibu untuk didaftarkan sekolah. Padahal, intensitas potensiku belum pandai menulis sedikitpun. Oh, nekat sekali gayaku saat itu ! Hal ini berawal ketika aku naik sepeda dan berhenti di rumah Meli siang itu untuk membeli es batu. Karena ibu meli berjualan kebutuhan sehari-hari. Percakapan Meli dan ibunya yang cerewet, membuatku mengerem sepedaku dengan cepat.
”Meliiiii.....”Ibu Meli mencari Meli mondar-mandir ke samping rumahnya.
”Iya bu, kenapa?”jawab Meli ngos-ngosan karena lari-lari dari samping rumah habis main masak-masakan dengan Jinar tetangganya.
”Hari senin kamu udah sa bmasuk sekolah, nanti sore ikut ibu kerumah bude Salamah. Biar dipotong rambutmu yang gimbal dan jarang disisir itu.”seru ibu Meli sambil menggeram melihat pakaian Meli belepotan lumpur karena main masak-masakan di samping rumahnya.

Mendengar pemberitahuan itu, segera kuputar arah sepedaku. Tidak jadi membeli es batu untuk ayah yang akan dibawa ke sawah. Kupacu pedal sepeda dengan cepat agar sampai rumah. Sesampainya aku di rumah, aku merengek pada ayah dan ibu. Kalau aku harus sekolah hari senin. Benar saja ayah dan ibu melongo sambil tersenyum padaku. Bagaimana bisa mengajukan permintaan sekolah, tapi belum bisa menulis dan membaca. Akupun bersikukuh akan sekolah hari senin.

Ibuku yang sabar, ayahku yang selalu memotivasiku. Akhirnya mengizinkan langkahku memulai perjalanan panjang ini. Perjalanan yang kutapaki ujiannya sampai hari ini. Hari senin ibu meminta izin kepada kepala sekolah untuk dapat menerimaku di sekolah, meski umurku masih 5 tahun dan ini merupakan proses pertama aku belajar. Kepala sekolah mengizinkannya dan memperbolehkan aku masuk sekolah hari itu.

Benar saja, satu tahun kulewati dengan indah. Aku juara 3 di kelas ketika semester genap. Ibupun baru menyerahkan berkas pendaftaranku ketika aku dipastikan naik ke kelas 2. Wah.. senangnya. Selama 6 tahun perjalanan sekolah di masa kecilku yang kulalui dengan indah dan lulus dengan predikat kelulusan terbaik. Hal ini cukup membanggakan ayah dan ibu.

Waktu berjalan dengan cepat, aku mulai menjejakkan langkahku ke sekolah pesantren di Malang. Di sana ada pakde yang bisa mengontrolku di pondok. Segala kejanggalan dan transformasi sikapku yang mulai menginjak remaja dengan masa-masa pubertas ku lalui di sini. Aku menikmati dengan tanpa ragu untuk melangkah. Waktu liburan yang harus kutempuh untuk menemui ayah dan ibu adalah satu tahun sekali juga kujalani. Meski masih kukuh rinduku terus menggerogoti nyaliku. Aku tetap bertahan dengan styleku yang mulai berubah sedikit demi sedikit lebih feminim. Ustad dan ustazah juga sangat baik di sana memperlakukan kami sebagai murid-muridnya yang jauh merantau demi menutut ilmu.

Selama 3 tahun pesantren di sana, banyak hal yang kualami dan menjadi pelajaran tersendiri bagiku. Aku mulai terbiasa mandiri dan jauh dari ayah dan ibu. Aku paham dengan jarak yang jauh membuat diriku harus lebih bersabar dengan kerinduan ini. Rindu yang selalu kubendung, agar curah hujan tak membasahi wajahku. Suatu hari sebelum masuk ke sekolah Negeri melanjutkan jenjang Sekolah Menengah Atas, ibu memberiku nasehat.
”Anakku, jangan pernah patah semangat melanjutkan sekolahmu. Ibu percaya Bintang bisa menjaga diri dengan baik.” Sambil mengelus kerudungku.
”iya bu, aku akan jaga diri dengan baik.” Sahutku merintih.
Bak rindu menghujam pilu, sendu kepiluan memukau dari arah yang berlawanan memandangku. Ialah ujian bertubi-tubi menghadapiku. Aku pilu pada nyeri tulang sendiku. Ah, keluhanku sama dengan godaan yang menyesatkan cita-cita dan harapanku. Pikirku saat itu.

Tepat tahun 2009 aku masuk SMAN 2 Surabaya, lagi-lagi... aku kembali merantau di negeri orang. Aku mendapatkan beasiswa sebagai siswi berprestasi untuk melanjutkan jenjang pendidikanku. Benar saja, ini sangat membantu ekonomi keluargaku. Meski paman dan bibi ada di Surabaya. Tapi, paman jarang mengunjungiku. Beliau sibuk bekerja dan bibi juga demikian, mereka bekerja di salah satu perusahaan interior di Surabaya. Aku mengikuti sistem asrama yang ada di sekolah. Ya, kehidupan sebagaimana dalam jejaring lingkungan yang penuh peraturan. Aku harus siap menghadapinya.

Hari-hari kulalui dengan masa perkenalan dengan teman-teman di sekolah. Aku mengikuti pelajaran dengan baik tanpa ada masalah selama sekolah di Surabaya. Fasilitas yang memadai dan teman-teman yang ramah membuatku betah tinggal di sini. Aku hanya bisa menanyakan kabar ibu melalui telepon sekolah setiap 1 bulan sekali. Kedisiplinan yang paling diprioritaskan di sekolah ini. Tak jarang, bagi teman-teman yang melanggar peraturan harus terkena sanksi dari pihak asrama dan sekolah. 
Aku hanya mampu mencurahkan isi hatiku melalui diary kecil yang biasa kuisi dengan tulisan dan tangisan serta kebahagiaanku. Ini adalah salah satu suratku yang pernah kukirimkan pada ayah dan ibu lewat pak pos.
”Assalamualaikum ayah, ibu. Bagaimana kabar ayah dan ibu? Semoga ayah dan ibu selalu sehat di sana. Ibu, ayah... bintang sangat rindu pada ayah dan ibu. Bintang betah tinggal di sini. Teman-teman sangat ramah dan sangat baik kepadaku. Ibu, sekolah ini begitu ketat dalam memberikan peraturan dan sanksi bagi yang melanggarnya.

Bintang mengucapkan ribuan terima kasih, karena sampai hari ini ayah dan ibu masih bersemangat menyekolahkanku, mendidikku, memberikan fasilitas belajar untukku. Bintang akan berusaha sebaik mungkin belajar dengan baik di sini. Bintang akan selalu ingat pesan ayah dan ibu. Bintang sangat merindukan ayah dan ibu.

Ibu, ingin rasanya bintang beritahu betapa kebahagiaan yang kita miliki dengan keluarga itu sangat mahal harganya untuk digantikan dengan yang lain. Tapi apalah daya bintang saat ini, Bintang ingin mejaga ayah dan ibu di rumah. Bintang ingin kita bisa segera berkumpul di rumah.

Bersabarlah ayah, ibu. Kita akan bertemu saat liburan nanti. Terima kasih atas seluruh semangat dan pembimbing setiaku kemanapun melangkah. Terima kasih telah mengajarkan Bintang mengenal siapa Allah swt. Karena hidup dan mati kita semata-mata hanya menjalankan ibadah kepadanyA.
Semoga ayah dan ibu selalu sehat, panjang umur dan selalu mencintai Bintang.
Salam rindu dan kecupan sayang dari ananda ‘Ukhibbu fillah Umi Abi’.
Bintang Rahmadayanti,
Di Surabaya

Beberapa surat juga pernah kuterima dari ayah dan ibu melalui pak pos. Semakin kita ulas kenangan bersama ayah dan ibu, maka semakin melekat pula rasa rindu yang sudah menggunung dalam hatiku. Kalau saja jarak tak sejauh ini, aku sudah tergiur ingin segera pulang. Untuk kesekian kalinya, aku beristigfar dan mengucap ”sabar” dan mengelus hatiku. 
Jika rindu tak pernah Allah ciptakan, barangkali sampai hari ini kita tak pernah memiliki rasa rindu dan kasih sayang dengan orang-orang terdekat kita. Sungguh karunia Allah maha besar untuk hamba-hambanyA yang senantiasa bertakwa, bersyukur dan saling memaafkan sesama insan di dunia.

Tepat pada liburan semester genap tiba, aku pulang ke kampung halaman di Selasih, Kalimantan Barat. Kepulanganku tidak sekedar untuk berlibur saja, aku ingin melepas rindu yang kubendung selama setahun. Jauhnya perjalanan membuatku harus lebih memahami bahwa ayah dan ibu sulit mengunjungiku. Aku menikmati liburan dengan bahagia, aku membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah, ikut ayah pergi ke sawah meskipun ayah terus berusaha melarangku. Aku juga ikut membantu paman Yadi dan bibi Patinah memanen semangka di kebun, berkunjung ke rumah sahabat-sahabatku di Selasih meski untuk sekedar melepas rindu dan sharing. Tapi, aku sangat menikmati liburan ini.

Setelah dua minggu berada di rumah, tiba saatnya aku harus mengayun langkahku ke Surabaya. Meski berat, kukalahkan jua rasa berat hati ini. Tepat pada hari minggu, aku berangkat ke Surabaya dengan transportasi pesawat. Pemerintah sudah memberikan akomodasi untuk liburan semester genap. Akupun memanfaatkan beasiswaku sebaik mungkin agar aku juga bisa belajar menjadi anak yang tidak boros.

Tiga tahun tidak terasa waktu terus melaju dengan cepat, aku tumbuh menjadi gadis yang memiliki postur badan besar tinggi. Berat badanku 60 kg dan tinggiku 170 cm. Aku ikut perawakan keluarga ayah. Meski demikian, aku tidak pernah melepas hijabku. Alhamdulillah... aku masih ingat pesan ayah dan ibu untuk tidak melepas hijab dan tidak membuka auratku. Meskipun berjauhan, ayah rajin mengirimkan pesan dan nasehat islami kepadaku. Tentu saja, ini semakin membuat aku rindu pada ayah dan ibu di Selasih.
”ketika sholat kita menutup aurat, setelah sholat kembali membuka aurat. Lalu, apakah menurutmu Allah hanya ADA ketika sholat saja? Dan setelah sholat, Allah tidak melihatmu anakku?hingga dengan tenang engkau perlihatkan auratmu kepada yang bukan mahrom?” pesan singkat ayah selalu menjadi suplemen dasyat hari-hariku di Surabaya.

Suatu hari aku menerima surat dari sekolah, batinku berdebar tak menentu saat itu. Karena selama tiga tahun aku menimba ilmu di sini belum pernah aku mendapatkan sebuah surat berukuran 19 cm x 15 cm itu. Aku mulai membukanya di tempat peraduan langkahku, dimana lagi kalau bukan kamarku. 
Perlahan... namun pasti. Kedua kakiku bergetar, mulutku serasa ingin menumpahkan jeritan. Mataku mulai nanar. Jari-jariku mulai tak mampu menopang beban surat yang kuterima. Batinku meronta hebat tanpa pilihan untuk berhenti. Antara sadar dan tidak aku mulai meraung bak anak kecil kehausan meminta air susu pada ibunya.
”Kabar apa ini ?”... (gumamku dalam tangisan)

Teman-teman asrama mulai mengetuk pintu kamarku. Kubuka dan mereka menanyakan tentang kenapa aku menangis? Aku masih dalam tangisan tak percaya. Aku menggerutu tanpa mereka paham apa maksud ucapanku.
”Bagaimana mungkin ayah dan ibuku jatuh ke jurang, yang aku tau tak satupun dari mereka bisa menaiki sepeda motor. Mengayuh sepeda saja tak pernah. Bagaimana bisa jatuh ke jurang? aku bingung dan kesal dengan isi surat ini. Aku pecaya mereka baik-baik aja.” Gerutuku sambil mengusap air mata sambil berjalan ke arah pembina asrama untuk meminjam telepon genggamnya.

Setelah diizinkan meminjam telepon genggam, aku langsung menelepon paman Yadi di Selasih.
”Assalamualaikum man Yadi...” sapaku di awal telepon.
”Waalaikumslam Bintang, kapan pulang? sudah denger kabarnya kan?” paman Yadi langsung bertanya tanpa basa-basi menanyakan kabarku.
”iya paman. Bagaimana cerita awalnya? Kenapa bisa terjadi?” serbuan tanya dariku
”Sudah, pulang aja. Ini lebih penting. Nanti sore dikebumikannya.”tutup telpon dari man Yadi terburu-buru.
Genting hatiku, dikebumikan diujung telepon menyisakan luka nganga di ulu hati. Apa ini ya Allah... ujian apa ini? tangisku meledak menjadi-jadi sambil mengembalikan telepon genggam pembina asrama dan mengurus izinku untuk pulang saat itu juga. Jam dinding menunjukkan 12.35 WIB, aku segera berwudhu dan melaksanakan dzuhurku. Setelah itu aku mengemas pakaian dalam koper kecil dan membawa peralatan yang kuperkirakan penting selama pulang kampung. Pembina asrama segera mengurus tiket pesawat, aku berpamitan pulang pada mereka. Mereka merangkulku seolah bisa memahami kepedihanku hari itu. Perjalanan menuju pesawat hanya 10 menit, aku bersabar sampai menaiki pesawat. Hatiku meracau tak karuan. Pikiranku hanya fokus untuk sampai di rumah. Doa-doa kulantunkan dalam hati untuk ketenanganku.

Tepat pukul 14.03 Pesawat mulai meluncur ke Kota kelahiranku, Kalimantan Barat. Langkahku gontai tak berarah. Rasanya aku ingin lari dengan cepat sampai ke rumah. Aku mencari becak untuk masuk dalam gang rumahku. Aku terus terfokus tak ingin mengingat hal lain kecuali ayah dan ibu. Kau tau kenapa? Hatiku merintih hebat saat itu, hatiku hancur dan yang tertinggal hanya kepedihan. Pak becak segera melaju ke halaman rumahku. Taukah engkau apa yang ku dapati di sana?

Bendera putih berdiri di depan tepat berhadapan dengan ujung halamanku yang luas. Kulihat  banyak orang berdatangan seperti keramaian pengungsian bencana. Curah hujan tak lagi mampu kubendung, aku terus berjalan memasuki rumahku. Kulihat ada dua jasad  yang sudah mulai renta di sana, terbujur kaku, pucat pasi tanpa suara. Tangannya terasa dingin dan amat beku untuk kuraih. Ku genggam tangan ayah dan ibu, kupeluk dan mulut ini tak ingin berhenti meraung. Bibi Patinah merangkulku, maman Yadi di sebelahku jua.
“Ayah dan ibu pulang dari sawah kemudian berjalan kaki di bibir jalan raya, kemudian sebuah truk sedang mengebut di tikungan tajam rumah pak Anyar.

Ibu terserempet dan bergantungan di ujung bibir jalan, sedangkan badannya sudah hendak jatuh ke jurang. Ayah tak tinggal diam, ia pun menarik tangan ibu dengan kuat. Tapi, Allah berkehendak. Rumput – rumput di pinggir bibir jalan raya itu amat licin selepas hari hujan. Ayah ikut tergelincir dan mereka terjatuh di sana. Kamu harus kuat Bintang.”Paman jelaskan kronologi kejadiannya.
Ya Robb, apa dosaku? Apa salah ayah dan ibuku? Mereka sangat baik menjagaku, merawatku dan mendidikku. Aku seperti mimpi ya Allah. Kuatkan hatiku untuk hadapi semua ini.

Tahap demi tahap prosesi pemakamanpun selesai. Aku diantar pulang maman Yadi dan bik Patinah. Hatiku benar-benar hancur saat itu. Aku pulang ke rumah dengan curah hujan yang tak mau reda di pipi, karena luka ini masih sangat basah untuk segera sembuh. Ku amati kenangan ayah yang rajin membaca buku motivasi dan hal-hal keagamaan di meja dan bangku kesayangannya di samping rumah, sambil ngopi pagi ditemani ibu yang selalu setia pada ayah. Ku lihat mesin jahit di ruang tamu yang selalu ibu habiskan menjahit bajuku bagian ketiaknya yang sering sobek, karena terlalu lasaknya aku waktu masih SD. Ku lihat lemari pakaian ibu, di sana banyak pakaian ibu dan ayah. 
Ya Allah !
Setelah 7 hari mendoa kepergian ayah dan ibu. Aku kembali ke Surabaya. Ku titipkan rumah tempat masa kecilku ini pada mereka. Setiap liburan aku akan tetap pulang. Maman Yadi dan bibi Patinah sangat menyayangiku, karena mereka belum memiliki anak sudah hampir 15 tahun dari usia pernikahan mereka tempo dulu.
Aku langkahkan kaki di tempat mencari ilmu di Surabaya. Sahabat-sahabatku di asrama sangat simpati padaku. Tak jarang mereka menjadi tempatku bersandar dalam perjalanan panjang ini. Tiga tahun ku selesaikan SMA di Surabaya. Pihak sekolah mengutusku menjadi mahasiswa undangan di salah satu kampus terbaik di Yogyakarta yaitu Universitas Gajah Mada. Mimpi apa ini, pikirku? Aku selalu berdoa agar ini menjadi celah kebahagiaanku di masa depan.

Aku sebatang kara di negeri orang tanpa siapapun yang ku kenal di sini. Almarhum ayah dan ibu pasti bahagia mendengar kabar aku bisa kuliah di Yogyakarta. Anak yatim piatu adalah sebutan yang pas untukku yang selalu ingin memeluk rindu dengan sempurna. Secerah bintang di langit merindukan bulan dalam hangatnya kerinduan. Aku tak ingin keputusasaan mendarah daging dalam tubuhku. Aku jua takkan menyerah hadapi hiruk pikuknya kehidupan penuh ujian ini. Allah melihat usahaku dan mendengar doa-doaku. Allah lebih menyayangi ayah dan ibu untuk segera singgah di syurganyA, sedangkan aku harus kuatkan imanku untuk terus bertahan menikmati indahnya skenario Tuhan.
Aku ikhlas dengan takdirku. 
Perindu Ayah dan Ibu